Quantcast
Channel: Travel and Living – Life is a Journey 
Viewing all articles
Browse latest Browse all 21

Teh Oplosan : Secangkir Teh, Berjuta Kenangan

$
0
0
Segelas Teh Oplosan, Berjuta Kenangan

Di tengah gairah kaum milenial dan menengah yang gemar menikmati teh berkualitas tinggi dan impor, cita rasa teh tubruk kampung seolah tenggelam. Teh-teh yang disajikan di restoran atau kafe, seperti Darjeeling, Earl Grey, English Breakfast, memang merupakan teh pucuk dengan kualitas premium. Harganya kalau di kafe kelas atas bisa mencapai Rp 50 ribu secangkirnya. Minum teh kualitas premium seperti itu juga meningkatkan gengsi bagi peminumnya.

Namun buat sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk saya, cita rasa teh kampung masih tak bisa dilupakan begitu saja. Memang teh tubruk kampung ini bukan kelas teh berkualitas tinggi. Sungai sejarah yang ditarik dari jaman kolonial menjadi sebab bagaimana teh ini justru menjadi favorit masyarakat kita. Di masa itu, teh berkualitas tinggi diperuntukan hanya bagi kalangan atas (orang-orang Belanda) dan juga dikirim untuk ekspor ke Eropa. Teh berkualitas tinggi itu diambil dari pucuk-pucuk terbaik pohon teh sehingga cita rasanya berkelas. Sementara untuk bangsa pribumi, pekerja, pekebun, hanya bisa mendapatkan sisanya, termasuk bagian batang-batang teh. Bagian itu kemudian dijemur dan diracik menjadi teh tubruk. Disajikan hangat, menggunakan gula, rasanya sepat panas pahit manis menyatu.

Bertahun-tahun mencicipi teh tubruk itu, masyarakat Indonesia menjadi terbiasa, bahkan kini menjadikannya sebagai minuman favorit , khususnya masyarakat di wilayah Jawa. Bahkan hingga saat ini, orang-orang Jawa khususnya lebih suka menikmati teh tubruk ketimbang teh premium. Sejak kecil, apabila pulang ke kampung nenek di Solo, saya selalu menikmati cita rasa teh kampung tubruk ini. Mereka menyebutnya Nasgitel, Panas Legi Kentel. Pokoknya ini adalah teh andalan dan terenak sedunia. Walaupun secara kualitas dia bukan premium.

Ketika dewasa, saya mulai jarang mencicipi teh tubruk. Pertama karena sulit mendapatkannya di Jakarta. Kedua, karena mulai berkenalan dengan teh-teh premium yang rasanya lebih memiliki kualitas daun teh. Tetapi kerinduan akan teh tubruk kampung selalu ada. Saya bersyukur dengan adanya platform e-dagang, marketplace, yang telah mampu menembus ruang waktu, sehingga mendapatkan teh tubruk kampung kini mudah. Merek-merek lokal yang terkenal sejak dulu, seperti Dandang, Sintren, Nyapu, Gopek, juga masih ada. Bahkan sekarang dijual dalam satu paket.

Cara meminum teh tubruk yang saya lakukan adalah dengan mengoplos berbagai brand yang ada. Kadang saya Oplos Teh Nyapu, Sintren, Gopek, untuk mendapatkan cita rasa yang lebih lembut. Tentunya racikan ini as you like, bagaimana selera kawan saja.

Setiap habis oplos, saya seduh dengan air mendidih, diamkan selama 15-20 menit, lalu saring, tambahkan gula, dan nikmati kelezatan rasa teh. Martin Heiddeger, seorang filsuf Jerman, pernah menulis tentang keterkaitan manusia dengan ruang lokalitas tempat ia tumbuh (locale truth of being). Seseorang terikat pada akar di mana ia lahir dan dibesarkan. Segala kenangan dan memori terbangun dan tertanam bersama ruang tempatnya tumbuh. Namun modernitas telah menggeser seseorang dari ruang-ruang asal. Kita berpindah, digusur, ataupun kehilangan ruang karena pembangunan. Hilang ikatan kenangan dan memori.

Secangkir teh tubruk, bagi saya lebih dari sekedar secangkir teh. Ia menghidupkan “locale truth of being” yang dikemukakan Heidegger. Dari satu sesapan teh tubruk, saya seolah tertanam kembali pada masa kecil di rumah nenek, melihat nenek menjerang dan menyeduh teh, melihat sepupu masa kecil berlarian, melihat sawah hijau menguning. Dari satu sesapan teh tubruk kampung, saya menikmati berjuta kenangan.

 

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 21

Latest Images

Trending Articles





Latest Images